Sewaktu saya masih kecil, satu kegemaran saya adalah menggambar. Cukup berikan saya satu lembar kertas kosong dan satu batang alat tulis (boleh pinsil atau pulpen), maka saya akan sibuk selama berjam-jam untuk menggambar. Itu sebabnya apabila mengajak saya ke gereja untuk kebaktian dewasa, Ibu saya selalu menyiapkan satu buku notes dan beberapa spidol warna-warni dalam tasnya.
Suatu ketika buku notes tersebut sudah terisi penuh dan Ibu saya tidak membawa penggantinya. Maka ayah saya memberikan buku notes miliknya untuk saya pakai menggambar. Ini dia hasilnya:

Kalau ditanya itu gambar apa, terus terang saya bingung menjawabnya. Sepertinya saya mengawali gambar tersebut dengan niat membuat gambar suatu proyek pembangunan gedung. Namun di tengah jalan saya berubah pikiran dan menambahkan gambar roket dan parasut.
Pada masa itu ayah saya sering berpergian ke luar kota untuk pekerjaannya. Di suatu kesempatan, dalam penerbangan ke Surabaya, ayah saya duduk di sebelah seorang bapak berusia 50an, dengan penampilan yang unik. Bapak itu memakai kaca mata dengan lensa yang tebal dan dengan bingkai hitam persegi. Bibirnya yang gelap dibingkai oleh kumis dan janggut yang kelimis. Rambut hitamnya yang ikal Β ditutupi oleh sebuah topi baret hitam, mengentalkan kesan seniman dalam dirinya.

Bapak itu memperkenalkan diri sebagai Tino Sidin. Di tahun 1980-an, Pak Tino Sidin terkenal sebagai seorang pengasuh acara “Gemar Menggambar” di TVRI. Dalam program itu beliau mengajar anak-anak tentang cara menggambar. Mungkin kata ‘mengajar’ bukanlah istilah yang tepat. Di acara itu beliau membuat menggambar menjadi sesuatu yang sangat mudah dan menyenangkan, sehingga siapa pun yang menyaksikannya jadi ingin mencoba menggambar. Termasuk saya sendiri.
Satu bagian dari acara tersebut yang saya tunggu-tunggu adalah di mana Pak Tino menunjukkan gambar-gambar yang dikirim oleh anak-anak penggemar acaranya. Terlepas dari bagus atau tidaknya gambar tersebut menurut pandangan umum, Pak Tino selalu memberikan komentar, “Bagus!”
Itu juga komentar yang beliau berikan ketika ayah saya membuka buku notesnya, dan menunjukkan gambar oret-oretan yang saya buat. Ayah saya meminta beliau untuk menandatangani gambar tersebut sebagai kenang-kenangan untuk saya. Tetapi Pak Tino melakukan lebih dari itu. Di halaman kosong di balik gambar tersebut, Pak Tino membuat sebuah sketsa di bawah ini, dan menandatanganinya.

Sekembalinya ke rumah, ayah saya menunjukkan gambar tersebut kepada saya. Saya senang tak kepalang karena gambar oret-oretan saya mendapat pujian dari Pak Tino, seniman idola saya. Ayah kemudian melaminasi lembar tersebut, dan menyimpannya. Sampai kemudian saya menemukan gambar itu pagi ini, 32 tahun kemudian.
Selama 32 tahun tersebut, saya sudah membuat banyak gambar. Namun sejalan dengan bertambahnya usia dan tingkat pendidikan, saya semakin sedikit menghabiskan waktu untuk menggambar. Seandainya seusai sekolah menengah atas saya masuk ke jurusan seni atau arsitektur, yang adalah cita-cita saya semasa kecil, mungkin saya sudah punya beralbum-album gambar. Nyatanya, saat ini saya hanya punya beberapa buku sketsa saja.
Mungkin sudah waktunya saya mulai kembali mengoret-oret notes dan buku sketsa. Siapa tahu, suatu waktu akan berguna.


Leave a reply to Stephen Siregar Cancel reply